A.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dewasa
ini banyak yang salah kaprah dalam beragama islam, mereka beranggapan bahwa orang
yang mengetahui banyak ilmu agama sudah cukup untuk membanggakan dirinya.
Padahal, orang yang berilmu agama belum tentu beragama. Orang yang sekedar
berilmu agama hanya simbolik belaka, tetapi tidak dibarengi pengamalan ilmu
kedalam akhlaknya. Sementara beragama seharusnya menjadi proses kreatif untuk
merubah akhlak yang lebih baik. Inilah risalah islamiyah sebagaimana rosulullah
diutus untuk menyempurnakan ahlak:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ
مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Al Baihaqi).
Kesalehan
simbolik menjadi momok tersendiri dalam praktik kehidupan beragama. Absurditas
antara praktik beragama masyarakat modern kekinian dengan misi risalah
Islamiyyah semakin menunjukkan kegamangan. Ada yang gagal dipraktikkan dalam
laku beragama sebagaian masyarakat muslim, sehingga menjadi tidak aneh ketika
apa yang disebut Hedar Nasher dengan “the plight of modern man” (nestapa
masyarakat modern) menjadi kian nyata.
Tragedi
keberagamaan ini adalah kondisi di mana masyarakat mengalami nihilisasi dari
ruh dan semangat beragama yang sesungguhnya. Jika bukan nihilisasi,
setidak-tidaknya ketercerabutan dari al maqshud al udzma (tujuan
tertinggi) dari beragama. Nyatanya mudah saja menemukan masyarakat yang
terdidik wawasan keberagamaannya, namun perilakunya tidak mencerminkan sebagai
masyarakat beragama. Rahasia umum bahwa korupsi atau tindak criminal lain yang
kita konsumsi di media massa sebagiannya justeru dilakukan oleh sekelompok
orang yang mengerti agama atau bahkan juga taat (secara simbolik) dalam
beragama.
Artinya
ada yang gagal ditransformasi oleh masyarakat beragama kita, dalam memerankan
laku kehidupannya sebagai umat beragama. Keyakinan (baca: iman, tauhid) yang
diejawentahkan ke dalam kepatuhan menjalankan ibadah (baca: fikih), ternyata
belum mampu membangun kualitas umat terbaik sebagaimana seruan untuk “memasuki”
pintu agama Islam secara kaffah (baca: sempurna, komprehensif), seperti
seruan AL Qur’an:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam
Islam secara sempurna, dan janganlah kamu ikuti tipu daya syetan, sesungguhnya
bagimu dia adalah musuh yang nyata” (Qs. Al Baqarah: 208)
Untuk
menjadi kaffah sebagaimana seruan ayat tersebut, tentu bukan hanya kesalehan
formalistik-simbolik seperti dalam aturan legal-formal seperti dalam
tema-tema fikih. Di sinilah letak dan peran tasawuf sebagai panduan laku
keberagamaan menjadi penting. Tasawuf yang pada wilayahnya akan menjadi langkah
komplementer sekaligus substansil dalam ranah keberagamaan, untuk membangun
peran manusia sebagai abid dan khalifah secara kaffah, dalam lingkaran
peran manusia di ranah agama dan keberagamaan.
Gambaran
sederhana dari kesempurnaan manusia di wilayah agama dan keberagamaan adalah
sebagaimana sebuah ungkapan Imam Malik:
من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق.
ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق. ومن جمع بينهما فقد تحقق
“Barangsiapa
mengamalkan tasawuf namun tidak mengamalkan (sesuai) fikih, maka ia termasuk
kafir zindiq. Dan barang siapa mengamalkan fikih namun tidak (dilengkapi)
dengan tasawuf, maka ia fasik. Dan barangsiapa mengamalkan keduanya, sungguh ia
telah mendapatkan hakikat”.
Menjadi
tema penting sekarang, adalah bagaimana hakikat atau dalam bahasa lain
kesempurnaan beragama/kaffah ditempuh dengan jalan tasawuf? Bagaimana
pula potensi dan ruang kreatif manusia dalam menjalankan peran keberagamaan
untuk mencapai misi risalah islamiyah,menyempurnakan akhlak yang mulia (li
utammima makarimal akhlak) dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil
alamin).
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Kedudukan dan Peran Manusia dalam
Perspektik Tawasuf ?
b. Apa dan bagaimana peran tasawuf dalam
membentuk peran manusia dalam ruang agama dan keberagamaan?
c. Bagaimana Peran Manusia dalam Agama dan
Keberagamaan Perspektif Tasawuf ?
B.
PEMBAHASAN
Tasawuf atau Sufisme (bahasa arab : تصوف
,
) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan
akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi)
dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.
1. Kedudukan Manusia Perspektif Tasawuf
a. Manusia Sebagai Abid (Hamba)
Tasawuf memandang manusia sebagai
karya cipta Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diciptakan dengan
kelengkapan jasad, ruh dan akal. Modal potensial ini yang menjadikan manusia
sebagai sebaik-baiknya ciptaan sebagaimana diserukan dalam firman Allah:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْأِنْسَانَ
فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh telah Kami ciptakan manusia
dalam bentuk (kualitas) yang paling sempurna (Qs. At Tin: 4).
Hidup dan mati manusia semata-mata
hanya untuk Allah. Diibaratkan Allah dengan manusia adalah seperti tuan dan
budaknya, secara fiqhiyyah seorang budak harus mematuhi perintah tuannya dan
menjauhi larangan-larangannya, Alqur’an menyebutkan surat Adz-dzaariyat ayat 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“ Dan tidaklah aku ciptakan manusia
semata kecuali untuk beribadah kepada-Ku
”.
Peran manusia sebagai abid berarti
segala aspek kehidupan seorang hamba Allah haruslah dilandaskan dalam rangka persembahannya
kepada Allah untuk mencapai keridhaan-Nya. Selain itu, manusia
bertugas sebagai
Abdullah yang dapat dikaitkan dengan proses pembuatan manusia yang terdiri atas
dua substansi, yaitu jasad dan roh.
Jasad manusia berasal dari alam materi ( saripati yang berasal dari tanah),
sehingga eksistensinya harus tunduk dan taat pada sunnatullah. Sedangkan rohnya
seak berada dialam arwah, sudah mengambil kesaksian dihadapan Tuhannya, bahwa
manusia bersyahadat kepada Allah dan bersedia patuh pada perintah allah.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ
بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
[الأعراف/172[
Seorang hamba
harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dengan cara menjaga kualitas iman dan
meningkatkannya karena disebutkan dalam Hadits bahwa keimanan seseorang
naik-turun (fluktuatif) kadang bertambah atau malah berkurang.
Allah menciptakan manusia sebagai
abid (hamba) di mana ia harus
ma’rifatullah (dan rosul, malaikat, kitab, alam gaib) dengan rububiyyah
dan ma’rifatunnafsi dengan ubudiyyah[1].
Imam Al Qusyairy dalam risalahnya menyebutkan bahwa kewajiban pertama manusia
adalah “ma’rifatullah”, sebagaimana yang terkandung dalam seruan surat
Adz Dzariyyat: 56, bahwa penciptaan jin dan manusia tidak kecuali untuk
beribadah. Sebagaimana halnya Imam Al Junaid sependapat bahwa tugas pertama
seorang hamba adalah selayak ciptaan mengetahui (ma’rifat) pada yang
menciptakannya.
Imam Qusyairy menjelaskan[2]:
سئل رُويم عن أول فرض افترضه
الله عزَّ وجلَّ على خلقه ما هو؟ فقال: المعرفة؛ لقوله جلَّ ذكره: " وما خلقت
الجن والإنس إلا ليعبدون " . قال ابن عباس: إلا ليعرفون. وقال الجنيد: إن أول ما يحتاج
إليه العبد من الحكمة: معرفة المصنوع صانعه، و المحدث كيف كان إحداثه، فيعرف صفة الخالق
من المخلوق، و صفة القديم من المحدث، ويذل لدعوته، ويعترف بوجوب طاعته؛ فإن من لم يعرف
مالكه لم يعترف بالملك لمن استوجبه.
b. Peran manusia sebagai khalifah
Manusia diciptakan dalam bentuk
yang paling sempurna dibanding dengan makhluk yang lain. Karena Allah mempunyai rahasia dibalik penciptaan
manusia sebagai khalifah mewakili Allah untuk mengatur segala urusan dimuka
bumi ini. Allah berfirman:
إِنّي جَاعِلٌ فِى الأرض
خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدماء وَنَحْنُ
نُسَبّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدّسُ لَكَ قَالَ إِنّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ }
[ البقرة : 30 ]
“Sesungguhnya Aku (Allah) telah
menciptakan khalifah di bumi, kemudian para malaikat berkata: “akankah Engkau
ciptakan di bumi makhluk (manusia) yang akan berbuat kerusakan dan mengalirkan
darah? Sementara kami bertasbih kepadaMu dan menyucikanMu. Allah berfirman:
“sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang tidak kalian ketahui” (Qs. Al
Baqarah: 30).
Berangkat dari ayat ini,
sebagaimana diungkap oleh imam Al Khozin[3] khalifah
di bumi adalah wakil Allah yang menegakkan hokum Allah dan melaksanakan
ketetapan Allah. Kata imam Al Khozin:
والصحيح إنه إنما سمي خليفة
لأنه خليفة الله في أرضه لإقامة حدوده وتنفيذ قضاياه
Kedudukan manusia sebagai khalifah
begitu prestisius, sehingga sampai malaikat, jin, dan iblispun cemburu dan
menanyakan perihal tersebut.” Apakah engkau akan mengangkat manusia sebagai khalifah seorang berbuat kerusakan disana dan
menumpahkan darah? Dengan kekuasaan Allah menjawab “ Aku mengetahui apa yang tidak
kalian ketahui” dan dalam penafsiran
Hasan Basri dalam Tafsir Al Hasan Al-Basri[4] bahwa
Allah meyakinkan pada semuanya bahwa makhluk yang bernama manusia tidak dapat dianggap remeh
karena hal ini diperlihatkan akan adanya potensi-potensi Ketuhanan yang ada
dalam diri manusia yang mampu mengantarkan pada derajat yang paling tinggi.
Allah tidak menjadikan kita sebagai robot yang hanya dikendalikan dengan remot
dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali yang diperintahkan. Allah memberikan
wewenang kepada manusia dimuka bumi, karena kekuatan manusia melebihi kekuatan
dari semua makhluk yang pernah diciptakan Allah sebelumnya.
Kedudukan manusia sebagai khalifah,
membedakan posisisnya dengan mahluk lain. Manusia dibekali akal dan nafsu.
Tujuan diciptakan manusia adalah menjelaskan ilmu, hikmah, taat, sehingga
kendati manusia memiliki nafsu yang mendorong pada perbuatan fasad dan pertumpahan
darah, namun manusia memiliki akal yang menjadi modal untuk menjadi makrifat,
cinta dan patuh kepada Allah. Dikukuhkan oleh pendapat imam Al Khozin, bahwa
potensi ilahiah dalam diri manusia yang dibekali akal, nafsu dan hati adalah
modal yang membedakan, bahkan memosisikan lebih tinggi kedudukan manusia
dibanding lainnya.
Masih menurut imam Al Khozin,
manusia memiliki kecenderungan untuk menuruti nafsunya, sehingga berpotensi
menimbulkan fasad dan pertumpahan darah. Namun, potensi akal dan hati
dalam diri manusia menjadi modal untuk membangun diri sehingga menjadi
sebaik-baik ciptaan, yang mampu menapaki tangga akhlak dan menebar rahmat di
bumi. Inilah yang menurut Al Khozin, rahasia di balik Firman Allah “sesungguhnya
Aku Maha Mengetahui yang tidak kalian (malaikat) ketahui”. Bahwa manusia
kendati ia memiliki nafsu, namun ia juga memiliki akal dan hati yang membimbing
manusia untuk tidak berbuat fasad dan pertumpahan darah sebagaimana
digambarkan dalam surat Al Baqarah ayat 30 tersebut[5].
Allah memberikan kepercayaan pada
kita dengan dikaruniai akal dan sebagian
Asma’ Allah ( sifat-sifat Allah) dalam diri manusia, maka manusia bisa
berfikir, memilih apa yang ingin dikehendaki. Tetapi tidak cukup sampai disitu,
kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang diperbuat selama
dibumi. Meskipun begitu Allah menegaskan bahwa kualitas manusia masih harus
diasah karena belum sepenuhnya sempurna, sehingga masih perlu untuk berjuang
untuk menyempurnakan akhlaknya.
Dengan begitu tugas manusia sebagai
khalifah dibumi adalah dengan taqarrub kepada Allah, dengan meniru
(mentransformasi) sifat Allah dalam bergaul dengan alam semesta. Taqorrub kepada Allah adalah dengan munasabah, pun
mentransformasi sifat rububiyyah sehingga kita menjadi dekat, bukan dalam hal
tempat, melainkan dekat secara sifat. Meniru sifat Allah, di antaranya
mengetahui (ma’rifat), kasih sayang, kebaikan, kasih sayang kepada makhluk.
Allah memiliki sifat Ar-rohim ( pengasih) sudah sepantasnya manusia melakukan ibadah shodaqoh misalnya, atau
berbuat adil dimuka bumi. Dengan begitu seorang akan merasa dirinya dekat dengan
Allah. Secara tidak langsung manusia melakukan perbuatan akhlak horizontal
dengan sesame makhluk untuk pencapaian kesuksesan menjadi seorang Abdullah (
hamba Allah)[6].
2. Tasawuf dan Peran Manusia dalam Kerangka
Agama dan Keberagamaan
Ad-din ( Agama) lahir dari
Al-Qur’an dan As-sunnah. Demikian pula pada umatnya, Islam sebagai agama yang
bersumber pada Al-Qur’an kehidupan umatnya juga berpedoman pada Al-Qur’an
begitulah pernyataan Khursid Ahmad dalam menafsirkan Al-Qur’an karya Sayyid Abu Hasan al- A’la al-Maudidi.
AL-Qur’an tidak bisa hanya dipelajari dengan membacanya saja tetapi lebih pada
penafsiran dan mengungkap makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Diibaratkan
Al-Qur’an adalah sebuah samudra yang sangat luas yang didalamnya tersimpan
banyak mutiara dan permata. Sehingga, perlu penyelaman kedalam samudra tersebut
untuk mendapatkan suatu yang berharga. Seperti hadits nabi yang berbunyi “
Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki
batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya”.
Ruh dari semangat “al din” akan
bermuara pada sedikitnya dua tujuan utama; pertama, membangun akhlakul karimah
dan kedua, menebar rahmat bagi seluruh komunitas alam. Artinya, kedua tujuan
ini merupakan misi dari risalah Islamiyyah.
Tujuan risalah Islamiyah ini
dijelaskan dalam seruan hadits rosulullah:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ
مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
ahlakul karimah” (HR. Al Baihaqi).
Akhlakul karimah kemudian menjadi
kunci utama untuk mewujudkan tujuan risalah islamiyyah yang kedua, yakni
rahmatan lil alamin. Allah menjelaskan dalam firmanNya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah aku mengutusmu
kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (Qs. Al Anbiya”: 107).
Dalam rangka mewujudkan misi
risalah islamiyyah ini, dalam Islam terdapat tiga ranah yang harus dibangun.
Ranah pembangunan misi risalah Islamiyyah ini adalah sebagaimana diskusi antara
malaikat Jibril dan rosulullah yang diabadikan dalam sebuah hadits:
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي مَا
الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا
وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ
قَالَ إِذَا فَعَلْتُ ذَلِكَ فَقَدْ أَسْلَمْتُ قَالَ نَعَمْ قَالَ صَدَقْتَ فَلَمَّا
سَمِعْنَا قَوْلَ الرَّجُلِ صَدَقْتَ أَنْكَرْنَاهُ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي
مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
وَتُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ قَالَ فَإِذَا فَعَلْتُ ذَلِكَ فَقَدْ آمَنْتُ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ
أَخْبِرْنِي مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ
لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ صَدَقْتَ
“Islam adalah syahadat, shalat,
puasa, zakat dan haji. Sementara Iman adalah membenarkan keesaan Allah,
mempercayai adanya malaikat, kitab Allah, utusan, hari akhir, dan takdir.
Terakhir, ihsan, adalah bagaimana manusia beribadah seakan-akan melihat Allah,
atau sadar bahwa ia dilihat oleh Allah”. Begitu kira-kira hasil “diskusi”
Malaikat Jibril dengan nabi Muhammad.
Hasil diskusi ini menjadi pijakan penting
untuk memahami Islam secara utuh. Inti agama yang telah disempurnakan itu
adalah pada tiga simpul penting; iman, Islam dan Ihsan. Ketiga formulasi inilah
yang menjadi titik kesempurnaan Islam. Waktu itu, ketika diskusi antara Jibril
dengan nabi Muhammad usai, beliau menjelaskan pada sahabatnya, bahwa kedatangan
Jibril kala itu, adalah untuk mengajarkan agama (Islam).
Ketiganya, iman, islam dan ihsan
adalah sebentuk pola keberagamaan, untuk menerjemahkan agama ke dalam laku
kehidupan manusia. Dijelaskan imam Ibnu Ajibah Syariat, thoriqoh dan haqiqoh
adalah standar kesalehan yang bertingkat, yang kemudian melahirkan kualitas
hamba yang bertingkat pula. Iman, islam dan ihsan,. Syariat untuk menata yang
nampak, thoriqoh untuk menata yang tidak tampak (hati), dan haqiqoh untuk
menata hikmah (saro’ir). Syariat dengan mematuhi perintah dan menjauhi
larangan, menata hati dengan mengosongkan hati (takholli) dari sifat yang
tercela (rodza”il) dan menghiasi dengan sifat terpuji (fadho’il) dan
menata/menghiasi (tahalli) hikmah (saroir) dengan terbuka pintu akhlak dan
tawadhu’[7].
Imam ibnu Ajibah menjelaskan bahwa
syariat, thoriqoh dan haqiqoh, atau dalam bahasa lain, iman islam dan ihsan
adalah serangkaian laku keberagamaan untuk mencapai kualitas kesalehan umat
sehingga misi risalah islamiyah dapat dicapai. Artinya bahwa keberagamaan tidak
cukup dibangun dengan pondasi akidah, fikih atau tasawuf saja. Ketiganya harus
bersinergi. Akidah membangun ranah keyakinan, sementara fikih mengatur cara
peribadahan (peran manusia sebagai abid) dan mekanisme mu’amalah (peran
manusia sebagai khalifah), dan tasawuf menggarap ranah akhlaknya, dalam artian
memaknai dan mentransformasikan ruh dari agama ke dalam laku keberagamaan.
Sebagaimana sholat, yang diwajibkan
dalam Islam, untuk melaksanakannya, prasyarat utama adalah harus beriman
(tauhid). Tatacara pelaksanaannya dijelaskan oleh fikih, mulai dari syarat,
rukun, hingga hal-hal yang disunnahkan dan hal yang membatalkan. Untuk
mentransformasi sholat ke dalam laku kehidupan keberagamaan dan membentuk
moralitas sebagaimana tujuan misi risalah Islamiyah, di sinilah peran tasawuf.
Dijelaskan dalam firman Allah;
إِنَّ الصلاة تنهى عن الفحشاء
والمنكر
“Sesunggunya sholat dapat mencegah
dari perbuatan keji dan munkar” (Qs. Al Ankabut: 45).
Tasawuf dalam membangun agama dan
keberagamaan seorang hamba (dalam kasus ini adalah sholat sebagai konsep agama
dan ekspresi keberagamaan), adalah memberikan nilai, menanamkan ruh sehingga
sholat memiliki kontribusi untuk membangun kualitas hamba. Bahwa tasawuf adalah
mentransformasi ruh dari keberagamaan ke dalam perilaku konkrit/ahlak,
sebagaimana sholat yang tujuan ahlaknya adalah menjaga dari perbuatan keji dan
munkar. Bahwa ada yang lebih mulia dari sholat, atau ada makna di dalam sholat,
yakni musyahadah Allah di dalam sholat yang kemudian ditransformasikan ke dalam
perilaku konkrit; mencegah dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana diungkap
al ghazali:
وقال تعالى ومساكن طيبة في جنات
عدن ورضوان من الله أكبر فقد رفع الله الرضا فوق جنات عدن كما رفع ذكره فوق الصلاة
حيث قال إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر فكما أن مشاهدة المذكور
في الصلاة أكبر من الصلاة فرضوان رب الجنة أعلى من الجنة بل هو غاية مطلب سكان الجنان
Menurut al Ghazali, ada yang lebih
tinggi dari sholat (yang sekadar memenuhi rukun dan syaratnya), yakni “dzikir”
mengingat yang mewajibkan sholat. Di sinilah letak peran tasawuf untuk
mengantarkan praktik keberagamaan manusia sampai pada kualitas kesempurnaan
beragama seperti disebut dalam hadits nabi di atas, bahwa ihsan adalah ketika
kita beribadah seakan-akan melihat Allah atau jika tidak mampu, maka
seakan-akan dilihat oleh Allah. Inilah kualitas kesempurnaan keberagamaan
seorang hamba dalam mentransformasikan akhlak sebagai misi dari risalah
islamiyah ke dalam laku konktrik kehidupannya.
Muara dari proses transformasi
sufistik ini adalah akhlakul karimah. Dalam kasus sholat adalah ketika kita
mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. Inilah salah satu upaya
fikih dalam membangun kualitas keberagamaan untuk sampai pada pengertian firman
Allah agar kita masuk Islam secara kaffah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman,
masuklah Islam secara kaffah (sempurna). (Qs. Albarawah: 208).
Kaffah dalam konteks ini, menjadi
masuk akal ketika dimaknai dengan pengertian masuk islam melalui tiga ranah;
tauhid (iman), fikih (islam) dan tasawuf (ihsan). Sehingga ahlakul karimah yang
pada gilirannya menjadi modal untuk membangun rahmatan lil alamin menjadi nyata
dalam laku kehidupan manusia.
Maka menjadi masuk akal pula jika Ibnu
Ajibah berpendapat bahwa tasawuf menjadi cara untuk memaknai ibadah secara
sempurna sebagaimana standar. Seperti halnya ihlas menjadi syarat dalam beramal
(di mana ikhlas tidak dibahas dalam persoalan keabsahan ibadah di dalam fikih:
sebab fikih hanya mengatur cara dan keabsahan ibadah secara formal). Dan
menarik pula ketika imam Abu Hafsh menjelaskan di dalam pendapatnya yang lain
bahwa inti dari tasawuf adalah akhlak, untuk membangun manusia yang berakhlakul
karimah sebagaimana dicita-citakan dalam misi risalah Islamiyah.
وقال أبو حفص رضي الله عنه التصوف
كله آداب لكل وقت آداب ولكل حال آداب ولكل مقام آداب
C. KESIMPULAN
Uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Peran dan kedudukan manusia dalam
konteks agama dan keberagamaan adalah fitrah ilahiah sebagia abd (hamba)
dan khalifah fil ardl (khalifah: pemakmur bumi, pembangun peradaban).
Peran dan kedudukan manusia sebagai khalifah dan abd dibekali potensi ilahiah
berupa akal, nafsu, hati sehingga manusia berpotensi menjadi generasi terbaik
yang mampu mentransformasi pancaran ilahiah.
2. Peran tasawuf dalam membentuk peran
manusia dalam ruang agama dan keberagamaan adalah sebagai ranah proses penting
dalam memaknai laku keberagamaan sehingga tidak kering dari nilai spiritual dan
tidak sekedar menjadi kesalehan formalistik-simbolik belaka. Tasawuf memberikan
ruh perilaku beragama untuk mentransformasikan nilai luhur yang ada dalam
konsep agama dan keberagamaan untuk mewujudkan cita-cita risalah islamiyah:
membangun akhlakul karimah dan ramhatan lil alamin.
3. Peran Manusia dalam Agama dan
Keberagamaan Perspektif Tasawuf adalah
melaksanakan laku keberagamaan dengan mentransformasi nilai luhur Islam,
membangun akhlakul karimah dan rahmatan lil alamin sebagaimana ia merupakan
tujuan dari risalah islamiyah.
D. REFERENSI
§ Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (diakses
dari Al Maktabah al Syamilah) juz 3.
§ AL Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (diakses
dari al Maktabah al Syamilah) Juz 4.
§ Al Khozin, tafsir Al Khozin (diakses
dari al Maktabah al Syamilah). Juz 1.
§ AL QUsyairy, al RIsalah AL Qusyairiyah,
juz 1 Hlm 2 (diakses dari al Maktabah al Syamilah).
§ Ibnu Ajibah, Iqodhul Humam syarh matn al
hikam, (diakses dari al maktabah al syamilah).
§ Imam Taufik Mu’thi, Paradigma tafsir
Sufi Imam Hasan al Bashri, Lintang Rasi Aksara Books: Krapyak Wetan 2012.
[1]
AL Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (diakses dari al Maktabah al Syamilah) Juz
4 Hlm 19. Menurut Al Ghazali, kedudukan manusia sebagai hamba memiliki peran
sebagai abid, di mana ia harus ma’rifatullah (dan rosul, mlaikat, kitab, alam
gaib) dengan rububiyyah dan ma’rifatunnafsi dengan ubudiyyah.
فلا
سبيل إلى معرفته وبيانه أنا نعلم بشواهد الشرع وأنوار البصائر جميعا أن مقصد
الشرائع كلها سياق الخلق إلى جوار الله تعالى وسعادة لقائه وأنه لا وصول لهم إلى
ذلك إلا بمعرفة الله تعالى ومعرفة صفاته وكتبه ورسله وإليه الإشارة بقوله تعالى
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون أي ليكونوا عبيد لى ولا يكون العبد عبدا ما لم
يعرف ربه بالربوبية ونفسه بالعبودية ولا بد أن يعرف نفسه وربه فهذا هو المقصود
الأقصى ببعثة الأنبياء ولكن لا يتم هذا إلا في الحياة الدنيا وهو المعنى بقوله
عليه الصلاة و السلام الدنيا مزرعة الآخرة
[2] AL QUsyairy, al
RIsalah AL Qusyairiyah, juz 1 Hlm 2 (diakses dari al Maktabah al Syamilah).
[3] Al Khozin, tafsir Al
Khozin (diakses dari al Maktabah al Syamilah). Juz 1 hlm 25.
[4] Imam Taufik Mu’thi,
Paradigma tafsir Sufi Imam Hasan al Bashri, Lintang Rasi Aksara Books: Krapyak
Wetan 2012 Hlm 106-111.
[5] Baca, Tafsir Al
Khozin Juz 13 Hlm 30 (diakses dari maktabah Al Syamilah). Imam Al Khozin
menjelaskan tafsir kandungan surat al Baqarah ayat 30:
{ إِنّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ } يعني أن هذا
النوع من المخلوقات ، وإن حصلت فيه الشهوة الداعية إلى الفساد والغضب الحامل له
على سفك الدماء ، لكن حصل فيه العقل الذي يدعوه إلى المعرفة والمحبة والطاعة
والخدمة ، وإذا ثبت أنه تعالى إنما أجاب الملائكة بهذا الجواب وجب على الإنسان أن
يسعى في تحصيل هذه الصفات ، وأن يجتهد في اكتسابها ، وأن يحترز عن طريقة الجهل
والتقليد والإصرار والتكبر ، وإذا كان كذلك فكل من وقف على كيفية هذه الواقعة صار
وقوفه عليها داعياً له إلى الجد والاجتهاد في اكتساب المعارف الحقة والأخلاق
الفاضلة زاجراً له عن أضدادها ومقابلاتها ، فلهذا السبب ذكر الله تعالى هذا الكلام
في هذا المقام
[6] Baca: al Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, (diakses dari Al Maktabah al Syamilah) juz 3 hlm 106. Al Ghazali
menjelaskan:
فالذى يذكر هو قرب العبد من ربه عز و جل في الصفات
التى أمر فيها بالاقتداء والتخلق بأخلاق الربوبيه حتى قيل تخلقوا بأخلاق الله وذلك
في اكتساب محامد الصفات التى هى من صفات الإلهية من العلم والبر والإحسان واللطف
وإفاضة الخير والرحمة على الخلق والنصيحة لهم وإرشادهم إلى الحق ومنعهم من الباطل
إلى غير ذلك من مكارم الشريعة فكل ذلك يقرب إلى الله سبحانه وتعالى لا بمعنى طلب
القرب بالمكان بل بالصفات
[7] Baca: Ibnu Ajibah, Iqodhul
Humam syarh matn al hikam, (diakses dari al maktabah al syamilah). Imam
ibnu Ajibah menjelaskan bahwa syariat, thoriqoh dan haqiqoh, atau dalam bahasa
lain, iman islam dan ihsan adalah serangkaian laku keberagamaan untuk mencapai
kualitas kesalehan umat sehingga misi risalah islamiyah dapat dicapai.
Baca: فالشريعة أن تعبده
والطريقة أن تقصده والحقيقة أن تشهده أو تقول الشريعة لاصلاح الظواهر والطريقة
لاصلاح الضمائر والحقيقة لاصلاح السرائر، واصلاح الجوارح بثلاثة أمور
بالتوبة والتقوى والاستقامة، واصلاح القلوب بثلاثة أمور بالاخلاص والصدق
والطمأنينة، واصلاح السرائر بثلاثة أمور بالمراقبة والمشاهدة والمعرفة أو تقول
أصلاح الظواهر باجتناب النواهي وامتثال الأوامر، واصلاح الضمائر بالتخلية من
الرذائل والتحلية بأنواع الفضائل، واصلاح السرائر وهي هنا الأرواح بذلها وانكسارها
حتى تتهذب وترتاض الأدب والتواضع وحسن الخلق
Tidak ada komentar:
Posting Komentar