Selasa, 28 Mei 2013

MANUSIA, AGAMA, DAN KEBERAGAMAAN DALAM PERSPEKTIF TASAWUF



A.            PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Dewasa ini banyak yang salah kaprah dalam beragama islam, mereka beranggapan bahwa orang yang mengetahui banyak ilmu agama sudah cukup untuk membanggakan dirinya. Padahal, orang yang berilmu agama belum tentu beragama. Orang yang sekedar berilmu agama hanya simbolik belaka, tetapi tidak dibarengi pengamalan ilmu kedalam akhlaknya. Sementara beragama seharusnya menjadi proses kreatif untuk merubah akhlak yang lebih baik. Inilah risalah islamiyah sebagaimana rosulullah diutus untuk menyempurnakan ahlak:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Al Baihaqi).
Kesalehan simbolik menjadi momok tersendiri dalam praktik kehidupan beragama. Absurditas antara praktik beragama masyarakat modern kekinian dengan misi risalah Islamiyyah semakin menunjukkan kegamangan. Ada yang gagal dipraktikkan dalam laku beragama sebagaian masyarakat muslim, sehingga menjadi tidak aneh ketika apa yang disebut Hedar Nasher dengan “the plight of modern man” (nestapa masyarakat modern) menjadi kian nyata.
Tragedi keberagamaan ini adalah kondisi di mana masyarakat mengalami nihilisasi dari ruh dan semangat beragama yang sesungguhnya. Jika bukan nihilisasi, setidak-tidaknya ketercerabutan dari al maqshud al udzma (tujuan tertinggi) dari beragama. Nyatanya mudah saja menemukan masyarakat yang terdidik wawasan keberagamaannya, namun perilakunya tidak mencerminkan sebagai masyarakat beragama. Rahasia umum bahwa korupsi atau tindak criminal lain yang kita konsumsi di media massa sebagiannya justeru dilakukan oleh sekelompok orang yang mengerti agama atau bahkan juga taat (secara simbolik) dalam beragama.
Artinya ada yang gagal ditransformasi oleh masyarakat beragama kita, dalam memerankan laku kehidupannya sebagai umat beragama. Keyakinan (baca: iman, tauhid) yang diejawentahkan ke dalam kepatuhan menjalankan ibadah (baca: fikih), ternyata belum mampu membangun kualitas umat terbaik sebagaimana seruan untuk “memasuki” pintu agama Islam secara kaffah (baca: sempurna, komprehensif), seperti seruan AL Qur’an:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Wahai  orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara sempurna, dan janganlah kamu ikuti tipu daya syetan, sesungguhnya bagimu dia adalah musuh yang nyata” (Qs. Al Baqarah: 208)
Untuk menjadi kaffah sebagaimana seruan ayat tersebut, tentu bukan hanya kesalehan formalistik-simbolik seperti dalam aturan legal-formal seperti dalam tema-tema fikih. Di sinilah letak dan peran tasawuf sebagai panduan laku keberagamaan menjadi penting. Tasawuf yang pada wilayahnya akan menjadi langkah komplementer sekaligus substansil dalam ranah keberagamaan, untuk membangun peran manusia sebagai abid dan khalifah secara kaffah, dalam lingkaran peran manusia di ranah agama dan keberagamaan.
Gambaran sederhana dari kesempurnaan manusia di wilayah agama dan keberagamaan adalah sebagaimana sebuah ungkapan Imam Malik:
من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق. ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق. ومن جمع بينهما فقد تحقق
Barangsiapa mengamalkan tasawuf namun tidak mengamalkan (sesuai) fikih, maka ia termasuk kafir zindiq. Dan barang siapa mengamalkan fikih namun tidak (dilengkapi) dengan tasawuf, maka ia fasik. Dan barangsiapa mengamalkan keduanya, sungguh ia telah mendapatkan hakikat”.
Menjadi tema penting sekarang, adalah bagaimana hakikat atau dalam bahasa lain kesempurnaan beragama/kaffah ditempuh dengan jalan tasawuf? Bagaimana pula potensi dan ruang kreatif manusia dalam menjalankan peran keberagamaan untuk mencapai misi risalah islamiyah,menyempurnakan akhlak yang mulia (li utammima makarimal akhlak) dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Kedudukan dan Peran Manusia dalam Perspektik Tawasuf ?
b.      Apa dan bagaimana peran tasawuf dalam membentuk peran manusia dalam ruang agama dan keberagamaan?
c.       Bagaimana Peran Manusia dalam Agama dan Keberagamaan  Perspektif Tasawuf ?

B.            PEMBAHASAN
Tasawuf  atau Sufisme (bahasa arab : تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.
1.      Kedudukan Manusia Perspektif  Tasawuf
a.       Manusia Sebagai Abid (Hamba)
Tasawuf memandang manusia sebagai karya cipta Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diciptakan dengan kelengkapan jasad, ruh dan akal. Modal potensial ini yang menjadikan manusia sebagai sebaik-baiknya ciptaan sebagaimana diserukan dalam firman Allah:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْأِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk (kualitas) yang paling sempurna (Qs. At Tin: 4).
Hidup dan mati manusia semata-mata hanya untuk Allah. Diibaratkan Allah dengan manusia adalah seperti tuan dan budaknya, secara fiqhiyyah seorang budak harus mematuhi perintah tuannya dan menjauhi larangan-larangannya, Alqur’an menyebutkan surat Adz-dzaariyat ayat 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“ Dan tidaklah aku ciptakan manusia semata kecuali  untuk beribadah kepada-Ku ”.
Peran manusia sebagai abid berarti segala aspek kehidupan seorang hamba Allah haruslah dilandaskan dalam rangka persembahannya kepada Allah untuk mencapai keridhaan-Nya. Selain itu, manusia bertugas sebagai Abdullah yang dapat dikaitkan dengan proses pembuatan manusia yang terdiri atas dua substansi, yaitu  jasad dan roh. Jasad manusia berasal dari alam materi ( saripati yang berasal dari tanah), sehingga eksistensinya harus tunduk dan taat pada sunnatullah. Sedangkan rohnya seak berada dialam arwah, sudah mengambil kesaksian dihadapan Tuhannya, bahwa manusia bersyahadat kepada Allah dan bersedia patuh pada perintah allah.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ  [الأعراف/172[

Seorang hamba harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri  dengan cara menjaga kualitas iman dan meningkatkannya karena disebutkan dalam Hadits bahwa keimanan seseorang naik-turun (fluktuatif) kadang bertambah atau malah berkurang.
Allah menciptakan manusia sebagai abid (hamba)  di mana ia harus ma’rifatullah (dan rosul, malaikat, kitab, alam gaib) dengan rububiyyah dan ma’rifatunnafsi dengan ubudiyyah[1]. Imam Al Qusyairy dalam risalahnya menyebutkan bahwa kewajiban pertama manusia adalah “ma’rifatullah”, sebagaimana yang terkandung dalam seruan surat Adz Dzariyyat: 56, bahwa penciptaan jin dan manusia tidak kecuali untuk beribadah. Sebagaimana halnya Imam Al Junaid sependapat bahwa tugas pertama seorang hamba adalah selayak ciptaan mengetahui (ma’rifat) pada yang menciptakannya.
Imam Qusyairy menjelaskan[2]:
سئل رُويم عن أول فرض افترضه الله عزَّ وجلَّ على خلقه ما هو؟ فقال: المعرفة؛ لقوله جلَّ ذكره: " وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون " . قال ابن عباس: إلا ليعرفون. وقال الجنيد: إن أول ما يحتاج إليه العبد من الحكمة: معرفة المصنوع صانعه، و المحدث كيف كان إحداثه، فيعرف صفة الخالق من المخلوق، و صفة القديم من المحدث، ويذل لدعوته، ويعترف بوجوب طاعته؛ فإن من لم يعرف مالكه لم يعترف بالملك لمن استوجبه.
b.      Peran manusia sebagai khalifah
Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dibanding dengan makhluk yang lain.  Karena Allah mempunyai rahasia dibalik penciptaan manusia sebagai khalifah mewakili Allah untuk mengatur segala urusan dimuka bumi ini. Allah berfirman:
إِنّي جَاعِلٌ فِى الأرض خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدماء وَنَحْنُ نُسَبّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدّسُ لَكَ قَالَ إِنّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ } [ البقرة : 30 ]
“Sesungguhnya Aku (Allah) telah menciptakan khalifah di bumi, kemudian para malaikat berkata: “akankah Engkau ciptakan di bumi makhluk (manusia) yang akan berbuat kerusakan dan mengalirkan darah? Sementara kami bertasbih kepadaMu dan menyucikanMu. Allah berfirman: “sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang tidak kalian ketahui” (Qs. Al Baqarah: 30).
Berangkat dari ayat ini, sebagaimana diungkap oleh imam Al Khozin[3] khalifah di bumi adalah wakil Allah yang menegakkan hokum Allah dan melaksanakan ketetapan Allah. Kata imam Al Khozin:
والصحيح إنه إنما سمي خليفة لأنه خليفة الله في أرضه لإقامة حدوده وتنفيذ قضاياه
Kedudukan manusia sebagai khalifah begitu prestisius, sehingga sampai malaikat, jin, dan iblispun cemburu dan menanyakan perihal tersebut.” Apakah engkau akan mengangkat manusia sebagai  khalifah seorang berbuat kerusakan disana dan menumpahkan darah? Dengan kekuasaan Allah  menjawab “ Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”  dan dalam penafsiran Hasan Basri dalam Tafsir Al Hasan Al-Basri[4] bahwa Allah meyakinkan pada semuanya bahwa makhluk yang  bernama manusia tidak dapat dianggap remeh karena hal ini diperlihatkan akan adanya potensi-potensi Ketuhanan yang ada dalam diri manusia yang mampu mengantarkan pada derajat yang paling tinggi. Allah tidak menjadikan kita sebagai robot yang hanya dikendalikan dengan remot dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali yang diperintahkan. Allah memberikan wewenang kepada manusia dimuka bumi, karena kekuatan manusia melebihi kekuatan dari semua makhluk yang pernah diciptakan Allah sebelumnya.
Kedudukan manusia sebagai khalifah, membedakan posisisnya dengan mahluk lain. Manusia dibekali akal dan nafsu. Tujuan diciptakan manusia adalah menjelaskan ilmu, hikmah, taat, sehingga kendati manusia memiliki nafsu yang mendorong pada perbuatan fasad dan pertumpahan darah, namun manusia memiliki akal yang menjadi modal untuk menjadi makrifat, cinta dan patuh kepada Allah. Dikukuhkan oleh pendapat imam Al Khozin, bahwa potensi ilahiah dalam diri manusia yang dibekali akal, nafsu dan hati adalah modal yang membedakan, bahkan memosisikan lebih tinggi kedudukan manusia dibanding lainnya.
Masih menurut imam Al Khozin, manusia memiliki kecenderungan untuk menuruti nafsunya, sehingga berpotensi menimbulkan fasad dan pertumpahan darah. Namun, potensi akal dan hati dalam diri manusia menjadi modal untuk membangun diri sehingga menjadi sebaik-baik ciptaan, yang mampu menapaki tangga akhlak dan menebar rahmat di bumi. Inilah yang menurut Al Khozin, rahasia di balik Firman Allah “sesungguhnya Aku Maha Mengetahui yang tidak kalian (malaikat) ketahui”. Bahwa manusia kendati ia memiliki nafsu, namun ia juga memiliki akal dan hati yang membimbing manusia untuk tidak berbuat fasad dan pertumpahan darah sebagaimana digambarkan dalam surat Al Baqarah ayat 30 tersebut[5].

Allah memberikan kepercayaan pada kita dengan dikaruniai  akal dan sebagian Asma’ Allah ( sifat-sifat Allah) dalam diri manusia, maka manusia bisa berfikir, memilih apa yang ingin dikehendaki. Tetapi tidak cukup sampai disitu, kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang diperbuat selama dibumi. Meskipun begitu Allah menegaskan bahwa kualitas manusia masih harus diasah karena belum sepenuhnya sempurna, sehingga masih perlu untuk berjuang untuk menyempurnakan akhlaknya.
Dengan begitu tugas manusia sebagai khalifah dibumi adalah dengan taqarrub kepada Allah, dengan meniru (mentransformasi) sifat Allah dalam bergaul dengan alam semesta. Taqorrub  kepada Allah adalah dengan munasabah, pun mentransformasi sifat rububiyyah sehingga kita menjadi dekat, bukan dalam hal tempat, melainkan dekat secara sifat. Meniru sifat Allah, di antaranya mengetahui (ma’rifat), kasih sayang, kebaikan, kasih sayang kepada makhluk. Allah memiliki sifat Ar-rohim ( pengasih) sudah sepantasnya  manusia melakukan ibadah shodaqoh misalnya, atau berbuat adil dimuka bumi. Dengan begitu seorang akan merasa dirinya dekat dengan Allah. Secara tidak langsung manusia melakukan perbuatan akhlak horizontal dengan sesame makhluk untuk pencapaian kesuksesan menjadi seorang Abdullah ( hamba Allah)[6].
2.      Tasawuf dan Peran Manusia dalam Kerangka Agama dan Keberagamaan
Ad-din ( Agama) lahir dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Demikian pula pada umatnya, Islam sebagai agama yang bersumber pada Al-Qur’an kehidupan umatnya juga berpedoman pada Al-Qur’an begitulah pernyataan Khursid Ahmad dalam menafsirkan Al-Qur’an karya  Sayyid Abu Hasan al- A’la al-Maudidi. AL-Qur’an tidak bisa hanya dipelajari dengan membacanya saja tetapi lebih pada penafsiran dan mengungkap makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Diibaratkan Al-Qur’an adalah sebuah samudra yang sangat luas yang didalamnya tersimpan banyak mutiara dan permata. Sehingga, perlu penyelaman kedalam samudra tersebut untuk mendapatkan suatu yang berharga. Seperti hadits nabi yang berbunyi “ Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya”.
Ruh dari semangat “al din” akan bermuara pada sedikitnya dua tujuan utama; pertama, membangun akhlakul karimah dan kedua, menebar rahmat bagi seluruh komunitas alam. Artinya, kedua tujuan ini merupakan misi dari risalah Islamiyyah.
Tujuan risalah Islamiyah ini dijelaskan dalam seruan hadits rosulullah:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
 “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan ahlakul karimah” (HR. Al Baihaqi).
Akhlakul karimah kemudian menjadi kunci utama untuk mewujudkan tujuan risalah islamiyyah yang kedua, yakni rahmatan lil alamin. Allah menjelaskan dalam firmanNya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah aku mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (Qs. Al Anbiya”: 107).
Dalam rangka mewujudkan misi risalah islamiyyah ini, dalam Islam terdapat tiga ranah yang harus dibangun. Ranah pembangunan misi risalah Islamiyyah ini adalah sebagaimana diskusi antara malaikat Jibril dan rosulullah yang diabadikan dalam sebuah hadits:
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ إِذَا فَعَلْتُ ذَلِكَ فَقَدْ أَسْلَمْتُ قَالَ نَعَمْ قَالَ صَدَقْتَ فَلَمَّا سَمِعْنَا قَوْلَ الرَّجُلِ صَدَقْتَ أَنْكَرْنَاهُ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَتُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ قَالَ فَإِذَا فَعَلْتُ ذَلِكَ فَقَدْ آمَنْتُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ صَدَقْتَ
“Islam adalah syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Sementara Iman adalah membenarkan keesaan Allah, mempercayai adanya malaikat, kitab Allah, utusan, hari akhir, dan takdir. Terakhir, ihsan, adalah bagaimana manusia beribadah seakan-akan melihat Allah, atau sadar bahwa ia dilihat oleh Allah”. Begitu kira-kira hasil “diskusi” Malaikat Jibril dengan nabi Muhammad.
 Hasil diskusi ini menjadi pijakan penting untuk memahami Islam secara utuh. Inti agama yang telah disempurnakan itu adalah pada tiga simpul penting; iman, Islam dan Ihsan. Ketiga formulasi inilah yang menjadi titik kesempurnaan Islam. Waktu itu, ketika diskusi antara Jibril dengan nabi Muhammad usai, beliau menjelaskan pada sahabatnya, bahwa kedatangan Jibril kala itu, adalah untuk mengajarkan agama (Islam).
Ketiganya, iman, islam dan ihsan adalah sebentuk pola keberagamaan, untuk menerjemahkan agama ke dalam laku kehidupan manusia. Dijelaskan imam Ibnu Ajibah Syariat, thoriqoh dan haqiqoh adalah standar kesalehan yang bertingkat, yang kemudian melahirkan kualitas hamba yang bertingkat pula. Iman, islam dan ihsan,. Syariat untuk menata yang nampak, thoriqoh untuk menata yang tidak tampak (hati), dan haqiqoh untuk menata hikmah (saro’ir). Syariat dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan, menata hati dengan mengosongkan hati (takholli) dari sifat yang tercela (rodza”il) dan menghiasi dengan sifat terpuji (fadho’il) dan menata/menghiasi (tahalli) hikmah (saroir) dengan terbuka pintu akhlak dan tawadhu’[7].
Imam ibnu Ajibah menjelaskan bahwa syariat, thoriqoh dan haqiqoh, atau dalam bahasa lain, iman islam dan ihsan adalah serangkaian laku keberagamaan untuk mencapai kualitas kesalehan umat sehingga misi risalah islamiyah dapat dicapai. Artinya bahwa keberagamaan tidak cukup dibangun dengan pondasi akidah, fikih atau tasawuf saja. Ketiganya harus bersinergi. Akidah membangun ranah keyakinan, sementara fikih mengatur cara peribadahan (peran manusia sebagai abid) dan mekanisme mu’amalah (peran manusia sebagai khalifah), dan tasawuf menggarap ranah akhlaknya, dalam artian memaknai dan mentransformasikan ruh dari agama ke dalam laku keberagamaan.
Sebagaimana sholat, yang diwajibkan dalam Islam, untuk melaksanakannya, prasyarat utama adalah harus beriman (tauhid). Tatacara pelaksanaannya dijelaskan oleh fikih, mulai dari syarat, rukun, hingga hal-hal yang disunnahkan dan hal yang membatalkan. Untuk mentransformasi sholat ke dalam laku kehidupan keberagamaan dan membentuk moralitas sebagaimana tujuan misi risalah Islamiyah, di sinilah peran tasawuf.
Dijelaskan dalam firman Allah;
إِنَّ الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر
“Sesunggunya sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar” (Qs. Al Ankabut: 45).
Tasawuf dalam membangun agama dan keberagamaan seorang hamba (dalam kasus ini adalah sholat sebagai konsep agama dan ekspresi keberagamaan), adalah memberikan nilai, menanamkan ruh sehingga sholat memiliki kontribusi untuk membangun kualitas hamba. Bahwa tasawuf adalah mentransformasi ruh dari keberagamaan ke dalam perilaku konkrit/ahlak, sebagaimana sholat yang tujuan ahlaknya adalah menjaga dari perbuatan keji dan munkar. Bahwa ada yang lebih mulia dari sholat, atau ada makna di dalam sholat, yakni musyahadah Allah di dalam sholat yang kemudian ditransformasikan ke dalam perilaku konkrit; mencegah dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana diungkap al ghazali:
وقال تعالى ومساكن طيبة في جنات عدن ورضوان من الله أكبر فقد رفع الله الرضا فوق جنات عدن كما رفع ذكره فوق الصلاة حيث قال إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر فكما أن مشاهدة المذكور في الصلاة أكبر من الصلاة فرضوان رب الجنة أعلى من الجنة بل هو غاية مطلب سكان الجنان
Menurut al Ghazali, ada yang lebih tinggi dari sholat (yang sekadar memenuhi rukun dan syaratnya), yakni “dzikir” mengingat yang mewajibkan sholat. Di sinilah letak peran tasawuf untuk mengantarkan praktik keberagamaan manusia sampai pada kualitas kesempurnaan beragama seperti disebut dalam hadits nabi di atas, bahwa ihsan adalah ketika kita beribadah seakan-akan melihat Allah atau jika tidak mampu, maka seakan-akan dilihat oleh Allah. Inilah kualitas kesempurnaan keberagamaan seorang hamba dalam mentransformasikan akhlak sebagai misi dari risalah islamiyah ke dalam laku konktrik kehidupannya.
Muara dari proses transformasi sufistik ini adalah akhlakul karimah. Dalam kasus sholat adalah ketika kita mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. Inilah salah satu upaya fikih dalam membangun kualitas keberagamaan untuk sampai pada pengertian firman Allah agar kita masuk Islam secara kaffah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah Islam secara kaffah (sempurna). (Qs. Albarawah: 208).
Kaffah dalam konteks ini, menjadi masuk akal ketika dimaknai dengan pengertian masuk islam melalui tiga ranah; tauhid (iman), fikih (islam) dan tasawuf (ihsan). Sehingga ahlakul karimah yang pada gilirannya menjadi modal untuk membangun rahmatan lil alamin menjadi nyata dalam laku kehidupan manusia.
Maka menjadi masuk akal pula jika Ibnu Ajibah berpendapat bahwa tasawuf menjadi cara untuk memaknai ibadah secara sempurna sebagaimana standar. Seperti halnya ihlas menjadi syarat dalam beramal (di mana ikhlas tidak dibahas dalam persoalan keabsahan ibadah di dalam fikih: sebab fikih hanya mengatur cara dan keabsahan ibadah secara formal). Dan menarik pula ketika imam Abu Hafsh menjelaskan di dalam pendapatnya yang lain bahwa inti dari tasawuf adalah akhlak, untuk membangun manusia yang berakhlakul karimah sebagaimana dicita-citakan dalam misi risalah Islamiyah.
وقال أبو حفص رضي الله عنه التصوف كله آداب لكل وقت آداب ولكل حال آداب ولكل مقام آداب
C.     KESIMPULAN
Uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Peran dan kedudukan manusia dalam konteks agama dan keberagamaan adalah fitrah ilahiah sebagia abd (hamba) dan khalifah fil ardl (khalifah: pemakmur bumi, pembangun peradaban). Peran dan kedudukan manusia sebagai khalifah dan abd dibekali potensi ilahiah berupa akal, nafsu, hati sehingga manusia berpotensi menjadi generasi terbaik yang mampu mentransformasi pancaran ilahiah.
2.      Peran tasawuf dalam membentuk peran manusia dalam ruang agama dan keberagamaan adalah sebagai ranah proses penting dalam memaknai laku keberagamaan sehingga tidak kering dari nilai spiritual dan tidak sekedar menjadi kesalehan formalistik-simbolik belaka. Tasawuf memberikan ruh perilaku beragama untuk mentransformasikan nilai luhur yang ada dalam konsep agama dan keberagamaan untuk mewujudkan cita-cita risalah islamiyah: membangun akhlakul karimah dan ramhatan lil alamin.
3.      Peran Manusia dalam Agama dan Keberagamaan  Perspektif Tasawuf adalah melaksanakan laku keberagamaan dengan mentransformasi nilai luhur Islam, membangun akhlakul karimah dan rahmatan lil alamin sebagaimana ia merupakan tujuan dari risalah islamiyah.

D.    REFERENSI

§  Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (diakses dari Al Maktabah al Syamilah) juz 3.
§  AL Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (diakses dari al Maktabah al Syamilah) Juz 4.
§  Al Khozin, tafsir Al Khozin (diakses dari al Maktabah al Syamilah). Juz 1.
§  AL QUsyairy, al RIsalah AL Qusyairiyah, juz 1 Hlm 2 (diakses dari al Maktabah al Syamilah).
§  Ibnu Ajibah, Iqodhul Humam syarh matn al hikam, (diakses dari al maktabah al syamilah).
§  Imam Taufik Mu’thi, Paradigma tafsir Sufi Imam Hasan al Bashri, Lintang Rasi Aksara Books: Krapyak Wetan 2012.




[1] AL Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (diakses dari al Maktabah al Syamilah) Juz 4 Hlm 19. Menurut Al Ghazali, kedudukan manusia sebagai hamba memiliki peran sebagai abid, di mana ia harus ma’rifatullah (dan rosul, mlaikat, kitab, alam gaib) dengan rububiyyah dan ma’rifatunnafsi dengan ubudiyyah.
فلا سبيل إلى معرفته وبيانه أنا نعلم بشواهد الشرع وأنوار البصائر جميعا أن مقصد الشرائع كلها سياق الخلق إلى جوار الله تعالى وسعادة لقائه وأنه لا وصول لهم إلى ذلك إلا بمعرفة الله تعالى ومعرفة صفاته وكتبه ورسله وإليه الإشارة بقوله تعالى وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون أي ليكونوا عبيد لى ولا يكون العبد عبدا ما لم يعرف ربه بالربوبية ونفسه بالعبودية ولا بد أن يعرف نفسه وربه فهذا هو المقصود الأقصى ببعثة الأنبياء ولكن لا يتم هذا إلا في الحياة الدنيا وهو المعنى بقوله عليه الصلاة و السلام الدنيا مزرعة الآخرة

[2] AL QUsyairy, al RIsalah AL Qusyairiyah, juz 1 Hlm 2 (diakses dari al Maktabah al Syamilah).
[3] Al Khozin, tafsir Al Khozin (diakses dari al Maktabah al Syamilah). Juz 1 hlm 25.
[4] Imam Taufik Mu’thi, Paradigma tafsir Sufi Imam Hasan al Bashri, Lintang Rasi Aksara Books: Krapyak Wetan 2012 Hlm 106-111.
[5] Baca, Tafsir Al Khozin Juz 13 Hlm 30 (diakses dari maktabah Al Syamilah). Imam Al Khozin menjelaskan tafsir kandungan surat al Baqarah ayat 30:
{ إِنّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ } يعني أن هذا النوع من المخلوقات ، وإن حصلت فيه الشهوة الداعية إلى الفساد والغضب الحامل له على سفك الدماء ، لكن حصل فيه العقل الذي يدعوه إلى المعرفة والمحبة والطاعة والخدمة ، وإذا ثبت أنه تعالى إنما أجاب الملائكة بهذا الجواب وجب على الإنسان أن يسعى في تحصيل هذه الصفات ، وأن يجتهد في اكتسابها ، وأن يحترز عن طريقة الجهل والتقليد والإصرار والتكبر ، وإذا كان كذلك فكل من وقف على كيفية هذه الواقعة صار وقوفه عليها داعياً له إلى الجد والاجتهاد في اكتساب المعارف الحقة والأخلاق الفاضلة زاجراً له عن أضدادها ومقابلاتها ، فلهذا السبب ذكر الله تعالى هذا الكلام في هذا المقام

[6] Baca: al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (diakses dari Al Maktabah al Syamilah) juz 3 hlm 106. Al Ghazali menjelaskan:
فالذى يذكر هو قرب العبد من ربه عز و جل في الصفات التى أمر فيها بالاقتداء والتخلق بأخلاق الربوبيه حتى قيل تخلقوا بأخلاق الله وذلك في اكتساب محامد الصفات التى هى من صفات الإلهية من العلم والبر والإحسان واللطف وإفاضة الخير والرحمة على الخلق والنصيحة لهم وإرشادهم إلى الحق ومنعهم من الباطل إلى غير ذلك من مكارم الشريعة فكل ذلك يقرب إلى الله سبحانه وتعالى لا بمعنى طلب القرب بالمكان بل بالصفات

[7] Baca: Ibnu Ajibah, Iqodhul Humam syarh matn al hikam, (diakses dari al maktabah al syamilah). Imam ibnu Ajibah menjelaskan bahwa syariat, thoriqoh dan haqiqoh, atau dalam bahasa lain, iman islam dan ihsan adalah serangkaian laku keberagamaan untuk mencapai kualitas kesalehan umat sehingga misi risalah islamiyah dapat dicapai.
Baca: فالشريعة أن تعبده والطريقة أن تقصده والحقيقة أن تشهده أو تقول الشريعة لاصلاح الظواهر والطريقة لاصلاح الضمائر والحقيقة لاصلاح السرائر، واصلاح الجوارح بثلاثة أمور بالتوبة والتقوى والاستقامة، واصلاح القلوب بثلاثة أمور بالاخلاص والصدق والطمأنينة، واصلاح السرائر بثلاثة أمور بالمراقبة والمشاهدة والمعرفة أو تقول أصلاح الظواهر باجتناب النواهي وامتثال الأوامر، واصلاح الضمائر بالتخلية من الرذائل والتحلية بأنواع الفضائل، واصلاح السرائر وهي هنا الأرواح بذلها وانكسارها حتى تتهذب وترتاض الأدب والتواضع وحسن الخلق

Tidak ada komentar:

Posting Komentar